KH Samanhudi

Di kota Solo, Jawa Tengah, terdapat sebuah kecamatan yang bernama Laweyan. Kecamatan ini terkenal sebagai daerah orang kaya. Kebanyakan penduduk Laweyan hidup sebagai saudagar atau pengusaha batik. Salah seorang di antaraya ialah Haji Samanhudi. la dilahirkan tahun 1878 dengan nama kecil Sudarno Nadi, Waktu kecil ia memperoleh pendidikan agama dari Kyai Jadermo di Surabaya. Selain itu ia juga memperoleh pendidikan umum pada Sekolah Dasar Bumiputera Kelas Satu.

Dengan pengetahuan yang sederhana itu Samanhudi terjun ke dunia perdagangan batik. Berkat modalnya yang terhitung besar dan bakatnya se­bagai pengusaha, namanya cepat dikenal di dunia perdagangan. la mengadakan hubungan dagang dengan pedagang-pedagang dari berbagai kota seperti Purwokerto, Bandung, Surabaya, dan Banyuwangi. la pun menjalin hubungan dagang dengan orang-orang Cina dan Arab. Berkat hubungan dagang yang luas itu, pengetahuan Samanhudi bertambah banyak. Tetapi sementara itu pula ia merasakan adanya hambatan dari pihak pemerintah jajahan terhadap kegiatan dagang Bangsa Indonesia. Pemerintah lebih banyak memberi hati kepada pedagang-pedagang asing, khususnya Cina. Bahan-bahan untuk membuat batik dimonopoli oleh pedagang-pedagang Cina, sebagai pedagang perantara. Perusahaan-perusahaan batik milik bangsa Indonesia tidak dapat berhubungan langsung dengan perusahaan asing yang mengimpor bahan-bahan tersebut. Samanhudi merasakan hal itu sebagai sesuatu yang sangat merugikan pedagang-pedagang Indonesia.
H. Samanhudi sudah lebih dahulu mengetahui hak-hak istimewa lainnya yang diberikan pemerintah kepada orang-orang Cina, misalnya dalam hal pajak jalan (tol), bea cukai, memborong berbagai pajak, membungakan uang de­ngan sistem ijon. Bahkan Cina berhak mengadakan penjagaan keamanannya sendiri. Pemikiran ini menimbulkan kesadarannya, betapa orang pribumi diperlakukan tidak adil oleh Belanda. Dalam kehidupan sehari-hari ia merasa­kan, bahwa pemerintah telah membagi-bagi masyarakat menjadi kelas satu: Belanda/Eropa: kelas dua: Cina dan keturunan asing lainnya: dan kelas terendah pribumi.
Ia tidak membenci orang asing, tidak pula orang Cina, namun ia amat merasakan penindasan kepada bangsanya. Yang amat dirasakan ialah dalam hal peri penghidupan, yaitu hal ekonomi. Karena sistem ekonomi yang demikian itulah maka bangsa Indonesia amat menderita, seperti dikatakannya ”Di negeri kita ini penduduk sengaja dibuat bertingkat-tingkat, yang paling tinggi bangsa Belanda, di bawahnya terdapat bangsa Cina, sedang bangsa Bumi putera berada di bawah Cina Jadi bangsa Bumi putera adalah bangsa yang dipandang sebagai bangsa yang paling rendah derajatnya, atau bangsa kelas kambing, padahal mereka hidup di tanah air sendiri.

Pihak penjajah menanamkan jiwa budak pada diri bangsa kita. Dengan demikian bangsa kita dapat dijajah terus. Oleh karena itu, supaya dapat menjadi bangsa yang mulia bangsa kita harus dapat membuang jiwa budak itu.
Pada tahun 1911 di Sala ada perkumpulan bernama Kong-Sing yang anggota-anggotanya orang-orang Cina dan Jawa. Tujuannya bekerjasama dalam perdagangan bahan batik dan soal kematian, tolong-menolong. Makin lama jumlah orang-orang Cina yang menjadi anggota makin besar dan menjadi lebih besar dari jumlah orang Jawa. Oleh karena itu orang-orang Jawa merasa terjepit dan keluarlah mereka dari perkumpulan kong-Sing tersebut.

H. Samanhudi dan kawan-kawannya lalu mendirikan perkumpulan ”Mardi Budi” (Memelihara Akhlak) untuk maksud persaudaraan dengan tolong menolong bila di antara keluarga anggotanya ada yang meninggal dunia. Dalam hal tolong menolong dan bantu membantu H. Samanhudi sudah lama terkenal kedermawanan dan keikhlasannya, tidak ada seorang pun yang minta bantuannya ditolak. Hal itu menjadikan H. Samanhudi dicintai orang banyak, berpengaruh luas dan menyebabkan banyak orang mengikuti jejaknya dalam perkumpulan yang didirikannya.
Kemudian makin dirasakan keperluannya mengusahakan kemajuan untuk perusahaan anggota-anggotanya. Salah satu cara ialah berusaha agar dapat membeli bahan-bahan batik langsung dari importirnya tidak melewati Cina. Maka dengan tujuan utama seperti itu, pada akhir tahun 1911 perkumpulan ”Mardi Budi” berganti nama menjadi ”Sarikat Dagang Islam”, disingkat SDI. Delapan orang menyertainya dalam mendirikan SDI dan sekaligus menjadi pengurus di bawah pimpinan H. Samanhudi. Mereka itu ialah Sumowardoyo, Harjosumarto, Martodikoro, Wiryotirto, Sukir, Suwandi, Suryopranoto, dan Jerman. Kemudian diangkatlah sebagai penasehat R.M. Jokomono Tirtoadisuryo, pemimpin redaksi harian ”Medan Prijaji” yang kini telah diangkat oleh Pemerintah RI sebagai salah seorang Perintis Pers. R.M. Jokomono ini pun ketua SDI yang telah berdiri lebih dahulu di Bogor.
Terhadap berdirinya SDI di Sala orang-orang Cina menunjukkan antipatinya, tidak senang, karena SDI jelas menentang monopoli Cina dalam hal bahan-bahan batik. Reaksi Cina itu tidak tinggal pada ketidaksenangannya, tetapi meningkat menjadi perkelahian Cina lawan Jawa yang berkali-kali terjadi di Sala hingga pernah pula melibatkan Legiun (prajurit) Mangkunegaran yang memihak SDI. Perkelahian Cina-Jawa itu menjalar ke Surabaya, Semarang dan Kudus.
H. Samanhudi senantiasa menunjukkan sikap tenang dan bijaksana, tidak anti Cina. la pernah mengeluarkan pengumuman, bila Cina bertindak salah, hendaknya para anggotanya mengalah, namun kalau mereka nekad, laporkanlah kepada polisi. Meskipun demikian Belanda sudah khawatir kalau-kalau pertentangan Cina-Jawa juga meningkat. Maka pada tanggal 10 Agustus 1912 residen Surakarta mengundang wakil Pemerintah Kasunanan dan Ketua SDI untuk mengadakan pembicaraan. Hasilnya mulai saat itu SDI yang untuk mudahnya sudah mulai sering disebut Serikat Islam” (SI) dilarang menerima anggota baru dan dilarang mengadakan rapat.

Ketetapan itu disusul dengan penggeledahan polisi di rumah anggota-anggota pengurusnya. Yang diketemukan hanyalah: peraturan perkumpulan, buku daftar anggota, daftar langganan majalah Sarotomo (Panah Utama) yang diterbitkan SDI, surat-surat permintaan anggota-anggotanya meminjam uang, obligasi, rekening pembelian dan sebagainya. Kesimpulan dari penggeledahan itu, SDI tidak mempunyai maksud yang dirahasiakan dan bukan perkumpulan yang membahayakan: Maka pihak Kraton Surakarta berpendapat, agar larangan terhadap SDI segera dicabut. Demikian pula H. Samanhudi dan ketua-ketua kelompok SDI berusaha sekeras-kerasnya. agar larangan itu dicabut. Akhirnya pada tanggal 26 Agustus 1912, SDI diizinkan aktif kembali dengan ketentuan, bahwa yang boleh menjadi anggota SDI hanyalah penduduk Surakarta. Ketentuan lainnya, ialah keuangan SDI harus diatur lebih baik dan jelas.

Ketentuan tersebut merupakan hambatan akan gerakan SDI lebih lanjut, namun H. Samanhudi tidak berkecil hati dan tidak sekalipun mundur. la segera mengadakan konsolidasi. Dalam pemikiran yang disertai usahanya yang giat, ia menemukan tokoh yang tepat dibawa serta dalam perjuangan umat Islam, yaitu R.M. Umar Said Cokroaminoto. Dialah yang mengusulkan agar keanggotaan SDI tidak terbatas pada kaum dagang saja. Maka perkataan Dagang dalam nama perkumpulan itu sebaiknya dihapus sehingga menjadi ”Sarikat Islam” disingkat S.I.

Usul itu diterima baik oleh H. Samanhudi dan kawan-kawannya. Umar Said Cokroaminoto ditugaskan menyusun Anggaran Dasar SI. Pada 10 Sep­tember 1912 dengan akte notaris B Anggaran Dasar Serikat Islam ditetapkan dan mulai hari itulah resminya pergantian nama dan ”Serikat Dagang Islam” menjadi ”Serikat Islam”. Tujuan SI ialah memajukan perdagangan, memberi pertolongan kepada para anggotanya yang mendapat kesukaran, memajukan kepentingan jasmani dan rohani kaum bumiputera, dan memajukan kehidupan agama Islam.

Anggaran Dasar itu dimintakan pengesahan kepada pemerintah, namun ditolak dengan surat_20 Maret 1913. Dalam laporannya ke negeri Belanda, Gubernur Jenderal Indenburg berpendapat, bahwa SI akan menentang pe­merintah, pangrehpraja yang memang mereka curigai. Akhirnya pun akan menentang pemerintah Hindia-Belanda, sebab pangrehpraja adalah bagian dari Pemerintah Hindia Belanda. Sifat jiwa mereka dianggapnya sulit dipisahkan dari jiwa memberontak dan mogok, tulis Indenburg.

Penolakan pemerintah akan Anggaran Dasar SI itu pada kenyataannya tidak menjadikan soal, karena diakui atau tidak diakui sebagai badan hukum. SI berjalan terus sesuai dengan rencana tujuannya.
Di mana-mana telah berdiri SI dengan pengaruhnya yang besar. Menghadapi Kongres I
tanggal 25-26 Januari 1913 di Surabaya, jumlah anggotanya telah mendekati 80.000 orang. Kongres I berlangsung dengan hebat. Utusan-utusan datang dari pelosok-pelosok berbondong-bondong. Jemputan di stasiun kereta api diramaikan dengan musik. Waktu rombongan H. Samanhudi tiba, ribuan orang penjemput mengelu-elukannya, sehingga dari kereta api sampai mobil jemputannya, H. Samanhudi lebih banyak didukung orang daripada berjalan kaki. Orang-orang itu mencintai H. Samanhudi bukan ka­rena pribadinya, namun sebagai pendiri SI yang bekerja keras dengan tenaga, pikiran dan hartanya pula. Iringan yang menyertainya dari stasiun ke gedung pertemuan Taman Manikam tidak kurang dari I5 mobil dan 30 kereta, sedang di sepanjang jalan orang memberikan sambutan meriah sekali.

Kongres ke-I itu menetapkan susunan organisasi SI. Tiap tempat yang cukup jumlah anggotanya didirikan cabang dengan pengurusnya yang dipilih. Setiap cabang dibagi menjadi beberapa ranting, dan tiap ranting menjadi beberapa kelompok. Di Jawa Barat dibentuk Hoofd afdeling, meliputi wilayah Jawa Barat, Sumatera dan pulau-pulau di dekat Sumatera. Pimpinan wilayah disebut Hoofdbestuur (Pengurus Besar). Demikian pula di Jawa Tengah, meliputi Jawa Tengah dan Kalimantan dengan Pengurus Besarnya di Surakarta. Jawa Timur meliputi Jawa Timur, Sulawesi, Bali dan Lombok, pengurus besarnya di Surabaya. Dengan demikian SI bersifat federasi. Hal ini justru tidak menyalahi ketetapan residen Surakarta yang tersebut di muka.

Pimpinan SI untuk seluruh Indonesia dipegang oleh Sentral Komite Serikat Islam Hindia Timur berkedudukan di Surakarta dengan susunan pe­ngurus, Ketua : H. Samanhudi dan Wakil Ketua : Umar Said Cokroaminoto yang merangkap ketua Pengurus Besar Jawa Timur, Sulawesi, Bali dan Lombok, dan memimpin surat kabar ”Hindia Timoer” (baca : Hindia Timur).

Kongres itu diakhiri dengan rapat umum di Stadstuin (Kebonraja) yang dipimpin oleh Umar Said Cokroaminoto, dihadiri oleh kurang lebih 8.000 sampai 10.000 orang termasuk utusan pemerintah dan beberapa orang Eropa dan Cina. Rapat menggunakan bahasa Indonesia yang waktu itu masih disebut bahasa Melayu. Umar Said menerangkan keadaan dan kemajuan SI hingga waktu itu, mempunyai cabang-cabang dan beribu-ribu anggotanya. Kemudian pembicara lain-lainnya menjelaskan tujuan SI dan langkah-langkah SI selanjutnya. Pada penutupnya Umar Said Cokroaminoto memperkenalkan pendiri ”Serikat Islam” H. Samanhudi.

H. Samanhudi lalu berbicara singkat dalam bahasa Jawa kromo (halus), minta kepada hadirin agar benar-benar memperhatikan tujuan SI. yaitu terlaksananya segala sesuatu untuk kepentingan rakyat Bumiputera. la berharap agar SI menjadi perkumpulan yang kuat.

H. Samanhudi adalah pemrakarsa sekaligus pendiri ”Serikat Islam” pelopor pergerakan politik umat Islam di Indonesia. Pengetahuannya serba sederhana, namun bersifat luwes dan trampil. H. Samanhudi memperhatikan kemajuan SI yang luar biasa. la berkesimpulan, bahwa ia pribadi tidak akan sanggup dan tidak mempunyai kemampuan memimpin perkumpulan yang besar itu. Oleh karenanya ia harus mencari kawan yang dipercaya dan yang mampu mengemudikan SI selanjutnya, dan kawan yang dipilih dan dipercayainya adalah Umar Said Cokroaminoto yang terpelajar, cerdas dan berani.

Pilihan H. Samanhudi ternyata tepat sekali, terbukti perkembangan SI di bawah pimpinan Umar Said Cokroaminoto amat pesat kemajuannya hingga menjadi besar sekali. Di tahun 1916 anggota SI di seluruh Indonesia telah mendekati jumlah 360.000 orang. Dalam tahun 1918 menjadi 450.000 orang. Kemudian terus meningkat, sehingga Cokroaminoto dikatakan Belanda sebagai De ongekroonde koning van Jawa (raja tak bermahkota di Jawa).

Makin maju SI makin beratlah bagi H. Samanhudi, akhirnya ia mundur dengan hati yang puas karena tanamannya telah menjadi subur dan dapat diharapkan bemanfaat besar bagi rakyat bangsanya. SI bukan partai politik karena waktu itu berdirinya partai politik masih merupakan larangan. SI bersifat perkumpulan sosial ekonomi non politik, namun sejak berdirinya senantiasa memperjuangkan soal kenaikan upah pekerja, membela para petani yang tertindas, persewaan tanah yang tinggj, membela rakyat yang diperlakukan sewenang-wenang oleh kepala desa, tuan tanah dan sebagainya. Dengan demikian SI sudah menjalankan politik praktis dengan sikap memihak rakyat jelata.
H. Samanhudi mengundurkan diri dari pimpinan Sentral Komite SI dan tidak termasuk dalam susunan tahun 1915 yang diketuai oleh Umar Said Cokroaminoto, namun SI tetap menghargai jasanya dan diangkatlah H. Sa­manhudi sebagai ketua kehormatan. la masih menyaksikan Anggaran Dasar SI disetujui oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan suratnya tertanggal 18 Maret 1916.

Menginjak hari tua kehidupan H. Samanhudi tidak tampak dalam kebahagiaan. Perusahaan batiknya sama sekali bangkrut. Orang tua yang berjasa pada bangsanya itu hidup dari sokongan putera-puteranya yang berjumlah 9 orang (3 orang wanita dan 6 orang pria) dari dua orang ibu, semuanya dalam keadaan serba sederhana. Oleh karena itu H. Samanhudi pernah tinggal pada putera-puteranya berganti-ganti, di Nganjuk, Mojokerto, dan Klaten. la tinggal pada salah seorang puteranya dalam hidup melarat hingga wafatnya di Klaten, Jawa Tengah.
Baru pada tahun 1955 H. Samanhudi menerima bantuan dari Pemerin­tah RI sebagai Perintis Kemerdekaan dan mendapat hadiah sebuah Rumah Pahlawan. Hanya satu tahun ia mengenyam penghargaan dan bantuan itu ka­rena pada tanggal 28 Desember 1956 ia wafat di Klaten.
H. Samanhudi, namanya tercatat sebagai pendiri Serikat Islam dan pelopor pergerakan bangsa Indonesia, terutama umat Islam. Oleh Pemerintah RI berdasarkan SK Presiden RI No. 590 tahun 1961 tanggal 9 November 1961 Kyai Haji Samanhudi dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sumber: pahlawancenter.com